Dalam kebidanan, ada 4 gangguan psikologi yaitu :
- Gangguan mental minor pada kehamilan trimester I
- Gangguan mental pada kehamilan lanjut
- Gangguan mental mayor pada kehamilan
- Gangguan mental puerperim
Tapi, kali ini saya hanya akan membahas tentang Ganggua mental mayor pada kehamilan & gangguan mental puerperium.
Gangguan mental atau penyakit mental adalah pola psikologis atau perilaku yang pada umumnya terkait dengan stress atau kelainan mental yang
tidak dianggap sebagai bagian dari perkembangan normal
manusia. Gangguan tersebut didefinisikan sebagai kombinasi afektif, perilaku,
komponen kognitif atau persepsi, yang
berhubungan dengan fungsi tertentu pada daerah otak atau system saraf yang menjalankan fungsi social manusia.
Gangguan Mental Mayor pada kehamilan
Sindrom
depresi mayor ditandai dengan suatu kombinasi simptom yang berpengaruh dengan
kemampuan untuk bekerja, tidur, makan dan menikmati salah satu kegiatan yang
menyenangkan serta sulit untuk melakukan komunikasi karena mereka cenderung
menarik diri, tidak mampu berkonsentrasi, kurang perhatian, merasa tidak
dihargai dan sulit untuk mengingat sesuatu dan yang terutama adalah tidak
jarang dari penderita yang ingin bunuh diri. Episode ketidakmampuan depresi ini
dapat terjadi hampir setiap hari dan pasti ada yang mendominasi di sepanjang
hari. Selain itu, bila tidak teratasi dengan baik dapat muncul sekali, dua kali
atau beberapa kali selama hidup.
Penyebab terjadinya gangguan mental mayor pada kehamilan
Para ahli
belum bisa memastikan mengapa depresi terjadi pada wanita hamil, namun diduga
perubahan tingkat hormon yang drastis selama kehamilan dan setelah melahirkan
menjadi biang keladinya. Selain peningkatan kadar hormon dalam tubuh, menurut
penelitian bahwa depresi terjadi karena klien atau penderita depresi memiliki
ketidakseimbangan dalam pelepasan neurotransmitter serotonin mayor,
norepinefrin, dopamin, asetilkolin, dan asam gamaaminobutrik. Selain itu,ada
pula hasil penelitian yang menyatakan bahwa terjadinya depresi karena adanya
masalah dengan beberapa enzim yang mengatur dan memproduksi bahan-bahan kimia
tersebut.
Dengan
demikian, berdampak pula pada metabolisme glukosa dimana penderita depresi
tidak memetabolisme glukosa dengan baik dalam area otak tersebut. Jika depresi
teratasi, aktivitas metabolisme kembali normal.Selain dari faktor organ biologis
di atas, pencetus terjadinya depresi adalah karena faktor psikologis dan
sosio-lingkungan, misalnya karena akan berubah peran menjadi seorang ibu,
karena kehilangan pasangan hidup, kehilangan pekerjaan, pasca bencana dan
dampak situasi kehidupan sehari-harinya.
Faktor
lain yang menyumbang peran dalam terjadinya depresi pada ibu hamil antara lain:
1. Riwayat keluarga yang memiliki penyakit kejiwaan
2. Kurangnya dukungan dari suami dan keluarga
3. Perasaan khawatir yang berlebihan pada kesehatan janin
4. Ada masalah pada kehamilan atau kelahiran anak sebelumnya
5. Sedang menghadapi masalah keuangan
6. Usia ibu hamil yang terlalu muda
7. Adanya komplikasi selama kehamilan
8. Keadaan rumah tangga yang tidak harmonis
9. Perasaan calon ibu yang tidak menghendaki kehamilan
Permasalahan
yang berkaitan dengan kondisi kejiwaan termasuk depresi, selain berdampak pada
diri sendiri bisa berimplikasi atau berpengaruh tidak baik terhadap kondisi
kesehatan janin yang ada di dalam kandungan. Kita semua pasti mengetahui bahwa
perubahan fisik dan hormonal yang terjadi selama masa kehamilan sangat
berpengaruh terhadap kondisi wanita yang sedang hamil. Depresi yang tidak
ditangani akan memiliki dampak yang buruk bagi ibu dan bayi yang dikandungnya.
Ada 2 hal penting yang mungkin berdampak pada bayi yang dikandungnya, yaitu :
1.
Timbulnya
gangguan pada janin yang masih didalam kandungan
2.
Munculnya
gangguan kesehatan pada mental si anak nantinya
Depresi
yang dialami, jika tidak disadari dan ditangani dengan sebaik – baiknya akan
mengalihkan perilaku ibu kepada hal–hal yang negatif seperti minum-minuman
keras, merokok dan tidak jarang sampai mencoba untuk bunuh diri. Hal inilah
yang akan memicu terjadinya kelahiran prematur, bayi lahir dengan berat badan
yang rendah, abortus dan gangguan perkembangan janin. Kelahiran bayi prematur
juga akan menjauhkan dekapan seorang ibu terhadap bayi yang dilahirkan , karena
si bayi akan ditempatkan di inkubator tersendiri. Apalagi jika sudah mengalami
depresi mayor yang identik dengan keinginan bunuh diri, bisa saja membuat
langsung janinnya meninggal.Ibu yang mengalami depresi ini tidak akan mempunyai
keinginan untuk memikirkan perkembangan kandungannya dan bahkan kesehatannya
sendiri.
Penanganan Gangguan mental mayor pada kehamilan
Strategi
kesehatan yang bisa diterapkan pada saat masa kehamilan untuk mengantisipasi
depresi yaitu menjadikan masa hamil sebagai pengalaman yang menyenangkan,
selalu konsultasi dengan para ahli kandungan, makan makanan yang sehat, cukup
minum air, mengupayakan selalu dapat tidur dengan baik dan melakukan senam bagi
ibu hamil. Disamping itu juga melakukan terapi kejiwaan supaya terhindar dari
depresi, lebih meningkatkan keimanan dan tentunya mendapat dukungan dari suami
dan keluarga.
Sedangkan
bagi yang telah terdiagnosis, perencanaan kehamilan sangat penting pada wanita
hamil yang didiagnosis depresi, sebaiknya kehamilannya perlu direncanakan atau
dikonsultasikan dengan ahli kebidanan dan kandungan, dan psikiater tentang
masalah resiko serta keuntungan setiap pemakaian obat-obat psikofarmakologi. Rawat
inap sebaiknya dipikirkan sebagai pilihan pengobatan psikofarmakologis pada
trimester I untuk kasus kehamilan yang tidak direncanakan, dimana pengobatan
harus dihentikan segera dan apabila terdapat riwayat gangguan afektif (depresi)
rekuren.
Penggunaan antidepresan trisiklik sebaiknya hanya pada pasien hamil yang
mengalami depresi berat yang mengeluhkan gejala vegetatif dari depresi, seperti
menangis, insomnia, gangguan nafsu makan dan ada ide-ide bunuh diri. Selective serotonin
reuptake inhibitors (SSRIs) terbukti sudah sangat berguna untuk menangani
depresi sehingga menjadi pilihan untuk ibu hamil, mencakup fluoksetin dan
sertralint. Obat ini menjadi pilihan karena obat tersebut lebih sedikit
memiliki efek antikolinergik yang merugikan, toksisitas jantung, dan bereaksi
lebih cepat daripada antidepresan trisiklik dan inhibitor oksidase monoamin
(MOA) serta tidak menyebabkan hipotensi ortostatik, konstipasi dan sedasi.
Disamping itu, psikoterapi atau metode support group secara rutin harus
dilakukan bila ada konflik intrapsikis yang berpengaruh pada kehamilan. Terapi
perilaku kognitif sangat menolong pasien depresi dan disertai antidepresan.
Terapi elektrokompulsif (ECT) digunakan pada pasien depresi psikotik untuk
mendapatkan respon yang lebih cepat, bila kehidupan ibu dan anak terancam,
misalnya pada depresi hebat dan klien sampaiingin bunuh diri atau jika tidak
berespon terhadap pengobatan antidepresan. Dalam menghadapi klien penderita
depresi, harus dilakukan dengan sikap serius dan mengerti keadaan penderita.
Kita harus memberi pengertian kepada mereka dan mensupport atau memberikan
motivasi yang dapat menenangkan jiwanya. Hendaknya jangan menghibur, memberi
harapan palsu, bersikap optimis dan bergurau karena akan memperbesar rasa tidak
mampu dan rendah diri.
Gangguan Mental Puerperium
Gangguan
mental puerperium adalah bentuk yang paling berat dari gangguan jiwa masa
nifas. Berbeda dengan postpartum blues atau depresi, psikosis puerperalis lebih
jarang terjadi dan angka kejadiannya berkisar 1-2 per 1000 wanita pasca salin.
Penampilannya dramatik dan munculnya gejala gangguan mental dalam 48 - 72 jam
pasca salin. Sebagian besar wanita yang menderita gangguan mental puerperium
gejalanya berkembang dalam 2-4 minggu pertama pasca salin.
Wanita
dengan kelainan ini gejala psikotik dan tingkah laku yang kacau sangat menonjol
sehingga menimbulkan disfungsi yang bermakna. Gangguan mental puerperium menyerupai
psikosis afektif yang berkembang cepat dengan gambaran manik, depresif atau
tipe campuran. Tanda paling awal adalah kegelisahan yang tipikal, iritabilitas dan
insomnia. Wanita dengan gangguan ini secara khas memperlihatkan pergantian yang
cepat antara mood yang depresi dan elasi, disorientasi atau depersonalisasi
serta tingkah laku aneh. Waham biasanya berkisar pada bayinya termasuk waham
bahwa anaknya telah meninggal, anaknya mempunyai kekuatan khusus, atau
menganggap anaknya sebagai jelmaan setan atau Tuhan. Halusinasi dengar yang
menyuruh ibu tersebut untuk menyakiti atau membunuh dirinya sendiri atau
anaknya kadang-kadang dilaporkan. Walaupun banyak pihak berpendapat bahwa
penyakit ini berbeda dengan gangguan afektif, namun beberapa peneliti
berpendapat bahwa gangguan mental puerperium lebih mirip dengan kebingungan
atau delirium daripada gangguan mood psikotik nonpuerperalis.
Penapisan pada gangguan mental puerperium
Depresi
pasca salin berat dan psikosis mudah untuk dikenali, namun bentuk yang lebih
ringan atau lebih perlahan munculnya seringkali terlewatkan. Bahkan gejala
depresi berat yang muncul selama masa nifas sering terlewatkan oleh pasien dan
perawatnya karena dianggap normal dan sebagai bagian dari proses kehaliran
bayi. Karena sulitnya memprediksikan wanita yang berada pada populasi umum yang
akan berkembang menjadi psikosis puerperalis, dianjurkan untuk menapis seluruh
wanita untuk gejala depresi pada masa nifas. Hambatan terbesar dalam
mendiagnosis depresi pasca salin adalah pada tingkat klinisi gagal menanyakan
adanya gejala-gejala fektif pada wanita masa nifas.
Kunjungan klinisi yang standar pada 6 minggu pertama masa nifas dan kunjungan berikutnya untuk pemeriksaan bayi adalah waktu yang tepat untuk menapis adanya gangguan depresi pasca salin. Bagaimana pun juga penapisan untuk gangguan afektif selama masa nifas lebih sulit dibandingkan waktu lainnya. Banyak tanda-tanda neurovegetatif dan gejala karakteristik depresi mayor (seperti gangguan tidur dan nafsu makan, berkurangnya libido, kelelahan) juga terdapat pada wanita non-depresi pada masa puerperium akut. Banyak skala penilaian yang dipakai untuk wanita bukan masa nifas (contohnya Beck Depression Inventory) belum divalidasi pada populasi puerperal. Sebaliknya Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) yang terdiri dari 10 pertanyaan, yang harus dijawab sendiri telah digunakan secara luas untuk deteksi depresi pasca salin dan telah dibuktikan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang memuaskan pada wanita masa nifas. Walaupun belum begitu sering digunakan EPDS dapat mudah digunakan secara bersamaan pada evaluasi rutin wanita pasca salin. Skala penilaian ini dapat menapis wanita yang butuh evaluasi psikiatrik lebih lanjut. Skala EPDS saat ini tengah dipakai pada penelitian kohort multietnik dan multisenter pada depresi pasca salin di Jakarta.
Kunjungan klinisi yang standar pada 6 minggu pertama masa nifas dan kunjungan berikutnya untuk pemeriksaan bayi adalah waktu yang tepat untuk menapis adanya gangguan depresi pasca salin. Bagaimana pun juga penapisan untuk gangguan afektif selama masa nifas lebih sulit dibandingkan waktu lainnya. Banyak tanda-tanda neurovegetatif dan gejala karakteristik depresi mayor (seperti gangguan tidur dan nafsu makan, berkurangnya libido, kelelahan) juga terdapat pada wanita non-depresi pada masa puerperium akut. Banyak skala penilaian yang dipakai untuk wanita bukan masa nifas (contohnya Beck Depression Inventory) belum divalidasi pada populasi puerperal. Sebaliknya Edinburgh Postnatal Depression Scale (EPDS) yang terdiri dari 10 pertanyaan, yang harus dijawab sendiri telah digunakan secara luas untuk deteksi depresi pasca salin dan telah dibuktikan mempunyai sensitifitas dan spesifisitas yang memuaskan pada wanita masa nifas. Walaupun belum begitu sering digunakan EPDS dapat mudah digunakan secara bersamaan pada evaluasi rutin wanita pasca salin. Skala penilaian ini dapat menapis wanita yang butuh evaluasi psikiatrik lebih lanjut. Skala EPDS saat ini tengah dipakai pada penelitian kohort multietnik dan multisenter pada depresi pasca salin di Jakarta.
Penanganan gangguan mental puerperium
Perawatan bayinya kadang-kadang
berlangsung seperti biasa. Prognosis untuk sembuh sangat baik, tetapi 50% dari
ibu tersebut akan mengalami kekambuhan pada persalinan berikutnya.
Secara umum:
·
Berikan dukungan
psikologik dan bantuan kegiatannya (pada bayinya atau juga dengan perawatan di
rumah).
·
Dengarkan yang
dikatakan oleh ibu tersebut, berikan dukungan dan dorongan. Hal ini penting
untuk menghindari kejadian yang tidak diharapkan.
·
Kurangi beban
mentalnya.
·
Hindari membahas
masalah emosi bila ibu tersebut masih belum setabil.
·
Bila digunakan
obat-obatan antipsikotik, hendaknya menyadari bahwa obat tersebut mungkin dapat
keluar melalui air susu dan pemberian air susu hendaknya dipertimbangkan
kembali.